SEMUA BOLEH SAKIT ASAL JANGAN IBU, NANTI DUNIA BERHENTI (Ibu, Kanker & Skripsi)

Anak laki-laki itu merebahkan badan di kasur kecil kamarnya pada Minggu pagi. Mengambil jeda, tak riuh sesibuk biasanya. Mengambil jeda, setelah dihantam lebam penat kerja yang menguras tenaga. Ia melihat ke arah langit-langit kamarnya sembari meresapi perjalanan hidup bertahun yang telah setapak demi setapak dijejaki. Perjalan yang pada setiap tapak kaki memberikan pelajaran sangat berarti. Terutama soal kepergian sosok ibu yang sudah teramat jauh dari bumi ini. Serta keletihan-keletihan dalam pertarungan melawan keras dan sepinya hidup setelah ibunya pergi. Sembari mengalihkan pandangan pada jam dinding kamar, ia seperti melihat ruang-ruang baru dalam menjalani kembali kehidupan yang ada di depan nanti. Detik demi detik berlalu, menit demi menit berlalu, hingga jam beranjak menuju siang hari. Meski sering didera sepi dan dipukul rindu. Pada akhirnya anak laki-laki itu menemukan jalan baru dari banyaknya jalan buntu. Ia tidak lagi seperti biasanya yang sedikit-sedikit kewalahan menghadapi tantangan jalan hidup dengan berbagai terjalnya. Nasihat-nasihat dari almarhumah Ibunya dahulu menjadi peta menemukan jalan baru. Dari berbagai simpang jalan yang membuat lelah. Dari pertigaan jalan yang membuat gundah. Pun dari perempatan jalan yang membuat payah. Membuat anak laki-laki itu menjalani hari demi hari lagi dengan sudut dan cara pandang yang berbeda. Lebih terarah dan tidak tersesat terlalu jauh kemana-mana yang dahulu sering membuatnya jengah.